Rabu, 13 April 2016

Keanehan ketiga ~ Para Calon Gubernur bersatu padu untuk menjatukan satu calon Gubernur

baru kali inilah para bakal calon gubernur DKI Jakarta yang pernah muncul, setidak-tidaknya diramaikan media massa, bukan fokus bicara program terbaik apa yang ditawarkan untuk kebaikan Kota Jakarta, tetapi bersatu-padu merapatkan barisan menyatukan kekuatan untuk melawan Ahok.
Upaya main keroyok dengan menggalang kekuatan partai politik inilah yang sebenarnya mengesankan Ahok sebagai calon tangguh, kuat dan sulit dikalahkan. Padahal, belum tentu juga. Main keroyok tak ubahnya tawuran anak-anak SMA yang justru mengesankan ketidakberanian melawan Ahok sendirian alias “head to head”.

Keanehan Keempat ~ Sikap seorang pemimpin organisasi massa Islam yang jauh-jauh hari tidak mengakui Ahok sebagai gubernur DKI

Sikap menihilkan Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok )  yang di lakukan oleh salah seorang pemimpin organisasi massa Islam ini ditunjukkan dengan cara mengangkat “Gubernur DKI” versinya sendiri. Sebutlah gubernur tandingan Ahok. Anehnya, dalam orasi-orasi di depan Gedung KPK atau tempat lain, sang pemimpin organisasi itu berkali-kali meminta Ahok turun sebagai Gubernur DKI. Lha, bukannya menurut versinya itu Ahok sudah bukan gubernur DKI dan sudah memilih gubernur versinya sendiri?

Tetapi, mengapa masih mengakui Ahok sebagai gubernur dan masih harus diturunkan pula? “Gubernur tandingan”-nya dikemanakan?

Keanehan Kelima ~ Sikap Dari Gubenur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok ) itu sendiri.

Sikap Gubenur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok ) yang memilih tidak populer di mata warga Jakarta dengan terus melakukan penggusuran warga yang konon menduduki lahan negara. Lahan yang diklaim pemerintah sebagai bukan hak warga Bukankah penggusuran yang sering dicap tidak manusiawi itu tindakan “bunuh diri” dalam konteks Pilkada apalagi Ahok tidak didukung partai politik dan hanya mengandalkan kekuatan relawan?

Bukan saja bisa menurunkan popularitas, penggusuran bisa menurunkan elektabilitas Ahok yang sampai saat ini masih tinggi meski isu sensitif itu segera digoreng lawan-lawan politiknya, bahkan untuk senjata pamungkas dalam debat calon gubernur nanti.
Uniknya lagi, kalau tidak mau dikatakan anehnya lagi, bakal calon gubernur lainnya di sisi lain menjadikan lahan penggusuran yang dilakukan Ahok sebagai panggung untuk meraih simpatik, yakni dengan pasang badan sebagai pembela warga yang terkena penggusuran. Sangat kontras, bukan?

Satu menggusur pemukiman rakyat dan karenanya terkesan tidak berprikemanusiaan, satunya lagi justru tampil sebagai pembela kemanusiaan. “Demon” versus “Angel”. Ketika kedua hal yang saling bertentangan diametral diletakkan dalam konteks Pilkada DKI kelak, mestinya simpati pemilih berpaling pada si pembela daripada si penggusur.

Apakah Ahok demikian polosnya sehingga luput mempertimbangkan hal-hal strategis yang bisa menggerus popularitas maupun elektabilitasnya? Atau dia bersikap “nothing to lose”.

Tidak mungkin juga, sebab bukankah dia memilih jalur perseorangan dengan mengandalkan relawan itu juga merupakan strategi sekaligus ambisi untuk mempertahankan kekuasaannya?

Keanehan Keenam ~ Gugurnya Para pesaing Gubenur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok )

sedemikian riuh-rendahnya para bakal calon pada mulanya di saat Ahok menyatakan niatnya untuk bertarung kembali, namun belakangan sunyi suara dan rontok satu persatu jauh sebelum Pilkada dimulai. Rontok karena berbagai alasan.

Musisi dan seorang mantan menteri tidak terdengar lagi ketika belum ada satu partai pun yang menunjukkan minat mengusungnya. Satu calon lainnya yang juga punya relawan patah hati karena partai induknya malah mendukung calon lain dari partai lain. Tragis.

Bakal calon lainnya, seorang pengusaha muda, masih harus menunggu konvensi partainya untuk menentukan hanya satu calon yang maju. Calon lain berjuluk “wanita emas” masih percaya diri dengan program “akan”-nya dan berharap ada partai politik sudi meminangnya. Sejauh ini partai belum bersedia meliriknya, setidak-tidaknya memberi lampu hijau.

Seorang sejarawan dan pakar perkotaan sudah tidak terdengar suaranya lagi. Bakal calon lainnya dari Tanah Abang memilih membersihkan masjid untuk meraih simpatik. Sedang dua walikota tetangga sudah sedari awal menyatakan mundur, demikian juga seorang gubernur dari Jawa bagian tengah.

Satu bakal calon lainnya yang ingin memberlakukan syariat untuk Kota Jakarta jika terpilih malah bernasib tragis, dicokok lembaga anti rasuah dalam sebuah operasi tangkap tangan yang tidak bisa dielakkan. Habislah harapan dan “cita-cita mulianya”

Itulah 6 keanehan menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017


(Kompas)
Creat By : ManTo
ingin punya uang tambahan KLIK DISINI

0 komentar